Sampai Jumpa di Jogja
Ada suara yang datang dari secangkir kopi — samar tapi dalam. Suara itu bukan hanya aroma yang mengepul, melainkan panggilan yang membuat saya menoleh pada masa lalu, pada dua nama: Ben dan Jody. Mereka seperti hati dan kepala — berdebat, berpisah, tapi tak bisa hidup tanpa yang lain. Suara itu memanggil saya bukan pada film, tapi pada seseorang yang pernah duduk di seberang meja: Raji.
Kota Semarang menyimpan langit yang berubah-ubah: kadang panas seperti debat sastra, kadang gerimis seperti kenangan. Di kota itu, Tuhan mempertemukan saya dengan Raji — sosok yang membawa aroma kopi, percakapan panjang, dan dunia yang mendadak lebih hidup. Setiap jalan di kota itu seperti menyimpan jejak tawa kami, percakapan yang mengalir seperti arus Kaligarang, dan malam-malam di mana saya mulai menulis lagi — lebih jujur dari sebelumnya.
Semuanya bermula dari secangkir kopi dan satu kalimat: “Apa yang kau cari dari menulis?”
Pertanyaan itu menggema lebih keras dari hujan di luar warung. Saya menjawabnya dengan ragu, sementara Raji menatap dengan mata yang seperti menimbang dunia. Dari situlah kami mulai perjalanan: membicarakan kopi, sastra, akademik, bahkan Blackpink — seolah seluruh semesta boleh mampir di antara dua cangkir.
Kami pun melakukan perjalanan. Kadang ke Posong, kadang ke sudut kota yang hanya kami kenal. Mencicip kopi bukan sekadar minum — tapi cara memahami hidup, cara merawat pertemanan. Di setiap perjalanan, kami menertawakan hal-hal kecil: penulis yang kami baca, puisi yang gagal, ide yang tak selesai. Namun di sela tawa itu, ada kesunyian yang selalu datang diam-diam — seperti jeda dalam puisi. Mungkin itulah yang membuat saya terus menulis: bukan untuk mengingat Raji, tapi untuk tidak kehilangan cara saya berbicara tentang manusia.
Raji bukan hanya teman; ia cermin. Dalam dirinya, saya menemukan potongan diri yang tertinggal — bagian yang masih percaya pada dialog, pada belajar, pada berbagi makna. Kami berbagi dunia yang kecil tapi hangat, dikelilingi teman-teman penulis, obrolan yang tak selesai, dan kopi yang selalu dingin karena terlalu banyak cerita.
Malam ini Semarang kembali hujan. Kami berkeliling di atas motornya, menembus angin dan kenangan. Saya tahu esok saya akan pergi ke kota lain. Tapi setiap putaran roda seakan menulis baris baru dalam cerita kami.
Sesampainya di indekos, kami berdiam sejenak. Lalu, dengan kepalan tangan yang saling bertemu, ia berkata, “Teruslah menulis.”
Saya menjawab, “Sampai jumpa di Jogja.”
Entah kapan, tapi saya tahu: di setiap tulisan, saya akan kembali bertemu dengannya — di antara aroma kopi, kata, dan ingatan.
